Pertumbuhan Ekonomi, Kesenjangan, dan Jalan Berkeadilan

TOPNEWS62.COM, BOGOR -- Pergantian Menteri Keuangan di Indonesia selalu menimbulkan ekspektasi baru tentang arah kebijakan ekonomi nasional. Purbaya Yudhi Sadewa, yang kini dipercaya menggantikan Sri Mulyani, mengawali jabatannya dengan optimisme: menciptakan pertumbuhan ekonomi 6–7 persen.
Namun, tidak sesederhana itu. Tantangan global seperti perlambatan ekonomi, perang tarif, dan menurunnya permintaan pasar luar negeri jelas akan memengaruhi daya dorong ekspor Indonesia. Di sisi domestik, berbagai faktor juga menjadi penghambat Investasi sektor swasta, mulai dari kepastian hukum yang belum terjamin, perizinan dan birokrasi yang masih berbelit, pungutan liar, hingga ketergantungan fiskal daerah terhadap transfer pusat yang membuat beban APBN semakin berat.
Selain itu, tingkat pengangguran yang masih tinggi serta pola konsumsi masyarakat yang cenderung konsumtif di tengah daya beli yang menurun semakin mempertegas kompleksitas permasalahan ekonomi nasional.
Di sinilah letak problem mendasar pembangunan ekonomi kita. Pengejaran pertumbuhan yang terlalu tinggi seringkali melupakan aspek distribusi. Angka pertumbuhan PDB memang penting, tetapi tanpa penurunan gini rasio, pertumbuhan yang tinggi hanya memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Pertumbuhan 6–7 persen tidak berarti apa-apa jika hanya dinikmati oleh kelompok atas, sementara kelompok bawah tetap stagnan. Justru pertumbuhan 5 persen yang disertai dengan penurunan gini rasio akan lebih bermakna, karena menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat secara lebih luas.
Dengan kerangka teori pembangunan berkeadilan yang telah saya bahas, jalan keluar dapat dipetakan dengan lebih jelas. Desa tidak boleh lagi dipandang sekadar sebagai pusat produksi primer dengan kontribusi fiskal rendah, tetapi harus dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi pedesaan, efisiensi rantai pasok, dan penguatan sinergi desa–kota. Sumber pertumbuhan baru tidak boleh hanya datang dari kota atau konglomerasi besar, melainkan harus lahir dari basis rakyat: pertanian, UMKM, dan ekonomi lokal.
Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter harus menjadikan gini rasio sebagai target utama di samping pertumbuhan PDB. Di sinilah peran zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) menjadi penting sebagai instrumen distribusi kekayaan, pelengkap kebijakan fiskal negara yang seringkali terbatas. Jika kebijakan fiskal mengejar pertumbuhan, maka ZISWAF bisa diarahkan untuk mengatasi kesenjangan dan memperkuat daya tahan masyarakat bawah.
Pada akhirnya, tantangan pembangunan Indonesia bukan hanya soal mengejar angka pertumbuhan, melainkan juga memastikan bahwa pertumbuhan itu inklusif, berkeadilan, dan dapat menurunkan kesenjangan sosial. Jika hal ini bisa diwujudkan, maka ekonomi Indonesia bukan hanya tumbuh, tetapi juga tumbuh bersama.
Salam pemberdayaan,
Sigit Iko