Nabi dan Umatnya: "Kita Akan Selalu Bersama, Cinta!"
TOPNEWS62.COM, Langkah demi langkah menjauh, lambaian tangan menghilang dalam dekapan udara hangat Madinah. Lambaian itu berpadu dengan "dadah-dadah" ahli Badr dan Uhud. Jarak fisik kini memisahkan pusara Nabi, tetapi jejaknya tetap membekas di hati. Jejak yang bergabung dalam kafilah panjang para pecinta Nabi yang mulia, Al-Musthafa. Ajarannya tentang cinta telah melahirkan banyak karya abadi seperti Barzanji, Diba', dan Simtudduror.
Dengan suara lembut, Nabi membalas lambaian para jemaah haji; pemburu syafaatnya, "Kita akan selalu bersama, Cinta!" seru Nabi. Ungkapan ini adalah tafsir cinta dari sabda beliau, "Anta ma'a man ahbabta--Engkau akan bersama dengan orang yang kaucinta."
Hadits ini menggambarkan cinta antara Rasul dan umatnya, sebuah epos besar yang tak akan pernah memudar hingga akhir zaman. Cinta ini akan semakin kuat saat tiupan sangkakala mengakhiri kehidupan di dunia. Cinta tersebut akan terus hidup, hingga saatnya tiba untuk bergabung secara badani dengan Rasulullah di telaga Kautsar, di Raudahnya, di akhirat kelak. Raudah yang baru saja mereka tinggalkan di Bumi Madinah, kota bercahaya-al Munawwarah.
Janji Allah bagi mereka yang mencintai Nabi adalah digabungkan bersamanya, secara ruhani di dunia dan secara hakiki di akhirat. Adakah kenikmatan yang lebih besar daripada bersama dengan yang dicinta? Tentu ada!
Jika seseorang selalu bersama dan tidak berpisah dengan yang dicintai, maka kebiasaan dan sifat orang yang dicintai akan mudah diserap. Misalnya, seorang pecinta Arsenal FC akan mengenal klub ini, sejarahnya, hingga nama para pemainnya. Ia akan rela bangun dini hari saat yang lain tidur nyenyak, bangga mengenakan kostum klub, dan merasa emosional saat klub menang atau kalah.
Sofwan bin Qudamah, begitu menjejak tanah Madinah saat hijrah, segera menemui Nabi. "Oh Nabiyallah. Berikan tanganmu. Aku ingin berbaiat kepadamu." Dengan senang hati Nabi mengulurkan tangannya dan bersabda, "Orang akan bersama dengan orang yang dicintai." Sofwan pun menangis gembira.
Jika kita selalu bersama secara lahir dan ruhani dengan orang yang kita cintai, maka pikiran, perasaan, dan tindakan kita akan dipengaruhi olehnya. Cintailah Nabi, maka hati kita akan merasa bahagia saat berkumpul dengan para pecinta Nabi. Kita akan riang mendengar orang-orang membicarakan nama beliau dan darah kita akan mendidih jika mendengar orang menghina beliau.
Madinah telah lama tidak mendengar suara Bilal bin Rabah. Sahabat senior ini sangat berduka setelah wafatnya Nabi. Ia menolak mengumandangkan azan setiap waktu salat. Hingga akhirnya Siti Fatimah, putri Nabi, datang memintanya. Bilal memulai dengan takbir dan berhasil melewati syahadat pertama. Namun, suaranya lenyap begitu sampai pada syahadat kedua. Bilal tak kuasa menahan emosi. Bibirnya bergetar, dadanya meledak, air mata tumpah. Fatimah tersedu. Madinah berduka.
Bilal bukan menolak memanggil nama Nabi, tetapi kehilangan yang teramat sangat membuatnya tak mampu. Kehilangan yang menghentak para sahabat dan kaum muslimin di seluruh dunia. Begitu Bilal sampai pada kalimat "Asyhadu Anna Mu...." alam pun merunduk dalam duka. Madinah banjir air mata. Suara Bilal memeluk tebing, menyelimuti gunung-gunung bebatuan. Sinar matahari meredup, angin berayun lembut, dan kehidupan pun berhenti berdenyut.
Rudolf Otto menggambarkan suasana ini sebagai "mysterium tremendum et fascinosum": suasana gaib nan unik, menggabungkan kejut-getir dan rindu yang menyengat. Seperti itulah alam semesta memaknai wafatnya manusia paling sempurna; insan kamil.
Abbas bin Abdil Muthallib meriwayatkan dari Baginda Rasul, "Mereka yang dapat merasakan iman adalah yang ridho (menerima) Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya."
Kata-kata ini adalah untaian baiat para sahabat kepada Nabi. Kata "iman" tidak lagi mampu mewakili rasa dan suara batin mereka. Kata "ridho" lebih nikmat, menjadi kalimat; "Aku ridho Allah sebagai Tuhanku." Dan Bilal adalah salah satu sahabat yang berbaiat dengan kata-kata magis itu. "Dan Aku ridho Muhammad sebagai Rasul." Bukan sekadar "percaya". Inilah mengapa Nabi sangat mencintai para sahabat dan umatnya.
Jawaban cinta Nabi kepada kita dalam sebuah hadits, "Man ahabbani kaana ma'i fil jannah--Siapa mencintaiku, dia akan bersamaku di surga." Cinta jemaah haji adalah penerimaan atas Muhammad sebagai Rasulullah. "Kita akan selalu bersama, Cinta," seru Nabi kepada jemaah haji.
Shallu 'alan Nabiy!
Penulis: Ishaq Zubaedi Raqib --MCH Daker Makkah Al Mukarramah