Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Era Manajemen Berbasis Sekolah: Antara Teori dan Realitas

TOPNEWS62.COM, JAKARTA – Jumat (03/10/2025) Di tengah hiruk pikuk reformasi pendidikan, satu sosok berdiri di garda terdepan: kepala sekolah. Perannya bukan lagi sekadar manajer yang mengurus administrasi, tetapi telah berevolusi menjadi motor penggerak utama dalam era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Konsep MBS yang mengedepankan otonomi, partisipasi, dan akuntabilitas sejatinya adalah panggung ideal bagi seorang pemimpin visioner. Namun, pertanyaannya, apakah panggung tersebut telah dimanfaatkan secara maksimal, atau justru para aktor utamanya masih terjebak di belakang layar, terbelenggu oleh tumpukan kertas birokrasi?
Artikel ini ditulis oleh: Loula Maretta (Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kepemimpinan & Pengambilan Keputusan, Dosen Pengampu: Dr. Dr. Dra. Hj. Neng Nurhaemah, M.Pd., S.Pd.)
Panggung Ideal Bernama MBS: Teori yang Menggugah
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dirancang untuk memotong rantai komando yang kaku, memberikan sekolah keleluasaan untuk berinovasi sesuai kebutuhannya. Dalam ekosistem ini, kepala sekolah dituntut menjadi seorang dirigen yang mampu mengharmonisasikan suara guru, siswa, orang tua, hingga masyarakat. Ia adalah seorang visioner yang menetapkan arah, seorang fasilitator yang membangun kolaborasi, dan seorang inovator yang tak henti mencari terobosan. Secara teori, MBS adalah resep sempurna untuk melahirkan sekolah-sekolah yang dinamis dan relevan dengan zaman.
Realitas Pahit di Balik Meja Administrasi
Namun, teori seringkali tak seindah realitas. Di lapangan, banyak kepala sekolah justru terperangkap dalam labirin administrasi—tenggelam dalam laporan dana BOS, disibukkan oleh dokumen akreditasi, dan terikat oleh kebijakan top-down yang kerap berubah. Energi mereka terkuras untuk memenuhi tuntutan birokratis, sehingga waktu dan fokus untuk memimpin inovasi pembelajaran menjadi barang mewah.
Memang, ada kisah-kisah inspiratif di mana kepala sekolah berhasil mendobrak kebekuan ini. Mereka sukses menggalang partisipasi komunitas, melahirkan gerakan literasi, dan mengadopsi teknologi digital. Sayangnya, praktik-praktik unggul ini masih seperti oase di tengah gurun—langka dan belum menjadi sebuah gerakan massal.
Mengapa Perubahan Begitu Sulit? Dinding Penghalang yang Nyata
Implementasi MBS di Indonesia membentur sejumlah dinding penghalang yang kokoh:
- Keterbatasan Sumber Daya: Mimpi besar seringkali kandas oleh minimnya dana, fasilitas, dan tenaga pendidik yang siap berinovasi.
- Konflik Kepentingan: Menyatukan visi antara guru, orang tua, dan komite sekolah yang memiliki prioritas berbeda adalah tantangan tersendiri.
- Partisipasi Semu: Keterlibatan masyarakat terkadang hanya formalitas, belum menyentuh substansi pengelolaan sekolah.
- Badai Kebijakan: Perubahan kurikulum dan regulasi yang cepat membuat kepala sekolah lebih sering berada dalam mode bertahan ketimbang berinovasi.
Akibatnya, kepemimpinan yang terjebak dalam paradigma administratif ini menghasilkan sekolah yang stagnan. Guru kehilangan gairah, siswa menjadi pasif, dan program seprogresif Kurikulum Merdeka pun berisiko menjadi sekadar slogan tanpa jiwa.
Mendobrak Tembok: Jalan Menuju Kepemimpinan Transformatif
Untuk mengubah keadaan, diperlukan langkah-langkah berani dan strategis:
- Transformasi Peran Fundamental: Geser fokus kepala sekolah dari "administrator" menjadi "arsitek pembelajaran". Prioritaskan waktu mereka untuk observasi kelas, mentoring guru, dan pengembangan program inovatif.
- Pelatihan yang Relevan: Program pengembangan kepala sekolah harus didesain ulang untuk mengasah kompetensi kepemimpinan transformatif: manajemen konflik, adaptasi perubahan, dan inovasi berbasis data.
- Apresiasi Kinerja: Ciptakan sistem insentif dan penghargaan yang jelas bagi kepala sekolah yang terbukti berhasil menggerakkan ekosistem sekolahnya, bukan hanya yang tertib administrasi.
- Digitalisasi Manajemen: Manfaatkan teknologi untuk menyederhanakan tugas-tugas administratif, sehingga kepala sekolah memiliki lebih banyak ruang untuk memimpin secara substantif.
Pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia tidak ditentukan oleh tebalnya laporan, tetapi oleh keberanian para pemimpin di sekolah untuk mendobrak rutinitas. Bangsa ini membutuhkan kepala sekolah yang siap menjadi pemimpin sejati—agen perubahan yang mampu mengubah sekolah dari sekadar gedung menjadi sebuah ekosistem pembelajaran yang hidup dan bertumbuh.

Founder topnews62.com Portal Berita yang Komperenshif, Akurasi yang menyejukan dan mencerdaskan terkait Wisata serta Gaya Hidup zaman Now