UNESCO dan Indonesia Berkomitmen Melestarikan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia
TOPNEWS62.COM, Badung – UNESCO dan Pemerintah Indonesia bersama-sama berkomitmen untuk melestarikan sistem irigasi tradisional Bali, yang dikenal sebagai Subak, sebagai bagian dari warisan budaya dunia.
Dalam diskusi bertajuk “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” yang diadakan pada World Water Forum (WWF) ke-10 di BICC, Nusa Dua, Selasa (21/5/2024), Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu, menegaskan pentingnya merawat dan mempertahankan Subak. Sistem ini telah ada selama ribuan tahun dan terus dijaga secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012, UNESCO menetapkan Subak sebagai warisan budaya dunia dan terus berkomitmen mempertahankannya hingga kini.
Subak dikelola oleh masyarakat adat Bali dengan filosofi Tri Hita Karana, yang mengajarkan keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Filosofi ini dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi antara manusia dan sumber daya air.
“Salah satu langkah yang kami ambil adalah melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait air untuk mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, terutama dalam konteks Subak,” ujar Xing Qu.
Xing Qu juga memaparkan berbagai inisiatif dan program UNESCO yang bertujuan untuk mempromosikan dan mengedukasi masyarakat tentang penggunaan air yang bijak. Program-program tersebut meliputi dukungan pendidikan terkait pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan fasilitasi kerjasama lintas batas terkait air. Upaya ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh World Water Forum ke-10 di Bali.
“Kita perlu merefleksikan kembali hubungan kita dengan air, bagaimana kita mengonsumsi dan mengolahnya. Kami juga akan meluncurkan inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” ungkap Xing Qu.
Xing Qu juga menyatakan kekagumannya terhadap masyarakat Bali yang kehidupan sehari-harinya selalu terkait erat dengan air. Dari lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual umat Hindu di Bali selalu melibatkan air.
Jika akses air terganggu dan terjadi krisis, ini akan menjadi ancaman serius. Menurut Xing Qu, dampak krisis air tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Bali, tetapi juga oleh masyarakat global, mengingat Bali adalah destinasi wisata dunia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, menambahkan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan air telah melekat kuat di masyarakat Indonesia. Selama ribuan tahun, masyarakat Nusantara telah mengelola air sebagai sumber utama kehidupan. Kearifan lokal ini merupakan 'perpustakaan peradaban' yang sangat berharga dan bisa memberikan kontribusi bagi masyarakat global.
“Jika kita mau mempelajari khazanah ini dengan baik, saya yakin kita dapat menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini. Bali memiliki nilai pengelolaan air berbasis solidaritas dan konektivitas. Mereka yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu harus berterima kasih kepada masyarakat di hulu,” ujar Hilmar.
Hilmar menegaskan bahwa pengelolaan air adalah isu yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan komprehensif serta kerjasama lintas negara. Subak bisa menjadi contoh yang baik karena menawarkan cara pengelolaan air yang efektif dan berkelanjutan.
Filosofi air bagi masyarakat Bali juga ditegaskan oleh Sekretaris DPP Peradah Indonesia Bali, I Ketut Eriadi Ariana, yang mengatakan bahwa masyarakat Bali menganggap air sebagai representasi manusia secara keseluruhan. “Ketika mata air hilang, pikiran orang Bali pun hilang. Ada teks kuno Bali yang membicarakan soal pengelolaan air dan aturan-aturan cara menjaga serta merawat air. Subak bukan hanya terasering, tetapi juga bentuk solidaritas,” katanya.
Untuk mengatasi berbagai tantangan isu air, diperlukan kolaborasi bersama, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesejahteraan petani, dan edukasi yang berkelanjutan. “Pengelolaan air dunia harus didasari oleh nilai solidaritas dan konektivitas agar kita bisa menghindari krisis air,” tegasnya.
Selama World Water Forum ke-10, peserta dan pengunjung juga dapat mengunjungi pameran jejak rempah bertajuk “Telu, Spice Market, Balinese Culture Art” dan “Subak Cultural Landscape” di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, mulai 21-25 Mei 2024.