Home > Wisata

Kawasan Kesultanan Banten Destinasi Wisata Andalan Banten

Kawasan yang kini disebut dengan Kawasan Kesultanan Banten (KKB)
Dok. Maqbul Sidiq
Dok. Maqbul Sidiq

TOPNEWS62.COM - Berkunjung ke Propinsi Banten tidak lengkap jika tidak mengunjungi Banten Lama, kawasan yang kini disebut dengan Kawasan Kesultanan Banten (KKB). Kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata andalan Banten yang selalu ramai dikunjungi masyarakat.

Saat ini Banten Lama tampil dengan wajah baru setelah dilakukan revitalisasi oleh Pemerintah Propinsi Banten, lingkungannya lebih bersih dan tertata dengan baik. Jalan, lingkungan, terminal, drainase dan infrastuktur lainnya telah diperbaiki sehingga menambah kenyamanan pengunjung.

Bagi para wisatawan yang pernah berkunjung ke Banten Lama sudah tidak asing lagi dengan Masjid Agung Banten yang memiliki menara mirip dengan bangunan mercusuar setinggi 30 meter. Masjid Agung ini mempunyai daya tarik yang tinggi bagi pengunjung, mengingat nilai sejarahnya dan juga karena adanya anggapan kekeramatan, banyak orang yang datang untuk mencari berkah.

Di dalam kompleks masjid Agung Banten terdapat area pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya. Di antaranya makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya.

Selain Masjid Agung, di kawasan Banten lama terdapat juga objek wisata berupa peninggalan bangunan bersejarah yang terkait keberadaan kerajaan Islam Banten, yakni:

Keraton Surosowan

Di bagian depan Masjid Agung terdapat Istana Sorosowan yang kini hanya tinggal puing-puing. Para pengunjung umumnya tidak memperhatikan keberadaan bekas istana, yang di abad ke-16, ke-17, dan ke-18 pernah menjadi pusat kegiatan Kerajaan Islam Banten. Keraton Surosowan atau sering disebut Gedong Kedaton Pakuwon adalah tempat tinggal para sultan Banten, terletak di bagian selatan alun-alun. Keraton yang memiliki luas sekitar 3,8 hektar ini hanya menyisakan reruntuhannya berupa fondasi-fondasi dan tembok keliling yang dulunya berfungsi sebagai benteng pertahanan setinggi 3-4 meter dengan ketebalan 6-8 meter.

Awalnya keraton ini dibangun oleh Raja Banten pertama yaitu Maulana Hasanudin (1526-1570). Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1687) barulah keraton ini dibangun tembok keliling dengan arsiteknya seorang kebangsaan Belanda bernama Lucas Cardeel. Perubahan ini dilakukan setelah Keraton Surosowan mengalami kehancuran akibat perang yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC.

Pada Tahun 1813 Keraton Surosowan kembali mengalami kehancuran. kala itu penghancuran keraton dilakukan atas perintah Gubernur Jenderal Belanda, Willem Daendels. Sebagai cagar budaya Keraton Surosowan dilindungi oleh undang-undang Nomer 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Benteng Speelwijk

Tak perlu jauh-jauh mencari bangunan Benteng Speelwijk. Lokasinya hanya berjarak satu kilometer sebelah timur kompleks Keraton Surosowan. Benteng Speelwijk ini dibangun dalam kurun empat tahun antara 1681-1685 pada masa Sultan Abu Nashar Abdul Qahar pascapemakzulan terhadap sang ayah Sultan Ageng Tirtayasa. Luas Benteng Speelwijk tak jauh berbeda dengan luas Keraton Surosowan.

Pondasi bangunan benteng dibuat dari tumpukan batu karang yang direkatkan dengan kapur. Hal ini membuktikan, Benteng Speelwijk memang dibangun dari sisa puing kehancuran Surosowan pascapenyerangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Tinggi benteng yang dibuat mengelilingi areal setebal satu meter dengan ketinggian lebih dari tiga meter. Ada kemiripan model antara Benteng Speelwijk dan Surosowan lantaran benteng ini dirancang Hendrick Lucaszoon Cardeel, arsitek Belanda yang telah memeluk Islam pada saat itu. Mengelilingi areal luas bangunan benteng, bangunan ini jelas memiliki banyak kisah tragis. Bagaimana tidak, untuk membangun banteng yang dikelilingi menara pengintai berbentuk intan di tiap sudutnya ini, hanya membutuhkan waktu empat tahun.

Vihara Avalokitesvara

Kehadiran Vihara Avalokitesvara bisa dikatakan sebagai simbol kerukunan antar etnis di Banten, bahkan simbol toleransi antar budaya, antar agama, dan antar negara. Vihara yang memiliki nama lain kelentang Tri Darma ini dibangun pertama kali pada masa Sunan Gunung Jati sekitar tahun 1652 masehi untuk memberikan sarana ibadah kepada para pendatang dari etnis Tionghoa.

Sebutan Klenteng Tri Darma diberikan karena vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus, yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha. Walaupun diperuntukan bagi tiga umat kepercayaan namun bagi wisatawan yang beragama lain sangat diperbolehkan untuk berkunjung dan melihat bangunan yang saat ini termasuk dalam cagar budaya di Provinsi Banten ini.

Keraton Kaibon

Keraton kaibon menjadi salah satu bangunan cagar budaya Provinsi Banten yang memiliki arsitektur unik serta memiliki cerita yang menarik. Dibangun pada tahun 1815, keraton ini menjadi keraton kedua di Banten setelah Keraton Surosowan. Berbeda dengan Keraton Surosowan, sebagai pusat pemerintahan, Keraton Kaibon dibangun sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah. Hal ini dikarenakan Sultan Syafiudin sebagai Sultan Banten ke 21 saat itu usianya masih 5 tahun. Nama Kaibon sendiri dipastikan diambil dari kata keibuan yang memiliki arti bersifat seperti ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Keraton Kaibon dibangun menghadap barat dengan kanal dibagian depannya. Kanal ini berfungsi sebagai media transportasi untuk menuju ke Keraton Surosowan yang letaknya berada di bagian utara.Tahun 1832 Keraton Kaibon dihancurkan oleh pihak Belanda yang dipimpin oleh Gubernur VOC saat itu, Jendral Willem Daendels.

Kini, puing reruntuhan Keraton Kaibon meninggalkan cerita tentang kejayaan Banten Lama. Walaupun hanya berupa reruntuhan dan pondasi-pondasi bangunan, tidak membuat pengunjung berhenti mengunjungi cagar budaya di Provinsi Banten ini. Selain ingin melihat kejayaan Banten tempo dulu, keraton ini juga sering dijadikan pengunjung dan pasangan muda untuk mengabadikan diri dengan latar belakang keraton yang klasik serta artistik.

Dok. Maqbul Sidiq
Dok. Maqbul Sidiq

Pecinan Tinggi

Seperti namanya, Masjid Pecinan Tinggi dibangun di sebuah pemukiman cina pada masa Kesultanan Banten. Bangunan ini terletak kurang lebih 500 meter ke arah barat dari masjid Agung Banten, atau 400 meter ke arah selatan dari Benteng Speelwijk. Masjid Pecinan Tinggi terletak di kampun Dermayon, di sebelah kiri jalan raya.

Penamaan Masjid Pecinan Tinggi dikarenakan pada masa silam, banyak pedagang Cina yang berdagang dan bertempat tinggal di daerah ini pada masa Maulana Hasanudin. Menurut catatan sejarah, masjid ini adalah masjid yang pertama dibangun oleh Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan oleh Maulana Hasanudin.

Berbeda dengan Masjid Agung Banten yang masih berdiri dengan kokoh, yang tersisa dari Masjid Pecinan Tinggi tinggal menara, mihrab, dan sisa pondasi bangunan induknya yang terbuat dari batu bata dan batu karang. Menara masjid terbuat dari bata dengan pondasi dan bagian bawahnya terbuat dari batu karang. Denah menara berbentuk persegi empat dan bentuknya menyerupai menara di Masjid Kasunyatan. Bagian atas menara ini sudah hancur, sehingga wujud utuh dari bangunan ini sudah tidak nampak lagi.

Pengindelan

Bangunan Pengindelan adalah tempat penjernihan air dengan menggunakan teknik pengendapan dan penyaringan dengan pasir dan ijuk. Terdapat tiga buah pengindelan, yakni pengindelan abang, pengindelan putih, dan pengindelan emas. Ketiga pengindelan ini mempunyai struktur dan bahan bangunan yang sama, yakni dari pasangan bata dengan spesi berupa campuran bata, pasir, dan kapur (tras barter). Bagian luar bangunan diplester dengan spesi yang sama.

Pengindelan abang merupakan sistem rangkaian penyaringan air yang pertama. Air dari Danau Tasikardi yang masih keruh diendapkan di tempat ini. Selanjutnya, air dialirkan ke pengindelan putih yang merupakan sistem rangkaian penyaringan air yang kedua. Di pengindelan putih, air disaring dan dijernihkan lagi, dan kemudian air hasil saringan dialirkan ke pengindelan emas.

Air hasil penjernihan dan penyaringan dari pengindelan putih diendapkan lagi di pengindelan emas yang merupakan sistem rangkaian penyaringan air yang terakhir (ketiga). Dari pengindelan emas, air bersih langsung dialirkan ke pancuran mas yang ada di Keraton Surosowan untuk air minum dan kebutuhan sehari-hari bagi keluarga Sultan dan masyarakat di Keraton Surosowan.

Penulis : Maqbul Sidiq - topnews62.com

× Image