Home > Bisnis

Jalan Menuju Pertumbuhan Ekonomi: Antara Narasi dan Realitas

Indonesia membutuhkan ekonomi berdikari partisipatif, yakni iklim usaha sehat dari bawah, pengurangan biaya transaksi, penguatan koperasi, UMKM, dan komunitas lokal.
Dok. Sigit Iko
Dok. Sigit Iko

TOPNEWS62.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya memaparkan strategi pembangunan ekonomi yang mengombinasikan pola era SBY, yang ditopang sektor privat, dengan pola era JKW, yang mengandalkan belanja pemerintah, khususnya infrastruktur. Sekilas narasi ini terdengar sederhana dan menjanjikan, seakan cukup dengan menyeimbangkan pedal gas fiskal dan moneter, ekonomi bisa tumbuh 7 persen. Namun, realitas di lapangan jauh lebih kompleks.

Era SBY (2004–2014) tidak bisa dilepaskan dari momentum commodity boom. Harga batu bara, nikel, dan CPO melonjak tajam pada 2006–2011, didorong tingginya permintaan dari China dan India. Lonjakan harga ini menjadi “windfall” bagi APBN, memperkuat neraca perdagangan, dan mendorong sektor privat tumbuh agresif. Itulah sebabnya pertumbuhan ekonomi relatif stabil di kisaran 6 persen, dengan defisit transaksi berjalan tetap terkendali.

Sebaliknya, era JKW (2014–2024) menghadapi tren berbeda. Harga batu bara sempat anjlok pada 2015–2016, CPO tertekan kebijakan Uni Eropa, sementara nikel dan tembaga memasuki fase transisi menuju hilirisasi. Pandemi COVID-19 dan ketidakpastian geopolitik kian mempersempit ruang gerak sektor swasta. Alhasil, belanja pemerintah dan BUMN menjadi penopang utama untuk menjaga mesin ekonomi tetap berjalan. Dana pemerintah yang “parkir” di BI pun lebih merupakan langkah prudential guna melindungi cadangan devisa dan stabilitas rupiah di tengah tekanan global.

Ke depan, peluang besar terbuka pada energi transisi dan hilirisasi minerba. Permintaan global terhadap nikel, kobalt, dan tembaga sebagai bahan baku baterai listrik dan energi hijau terus meningkat. Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pemasok utama. Namun, tanpa ekosistem investasi yang sehat, kepastian hukum, dan keberpihakan pada pelaku usaha rakyat, potensi ini bisa kembali dikuasai segelintir oligopoli tanpa memberi dampak luas bagi ekonomi rakyat.

Sementara itu, problem mikro rakyat tetap menggunung. Petani, nelayan, UMKM, dan buruh masih menghadapi harga yang fluktuatif, akses pasar terbatas, hingga tingginya biaya transaksi akibat pungli maupun monopoli. Kebijakan makro yang berniat baik tidak otomatis menyentuh kebutuhan sehari-hari mereka. Inilah jurang antara narasi makro yang menenangkan dengan realitas mikro yang memprihatinkan.

Solusi mendasar bukan sekadar dorongan fiskal atau moneter. Wacana menarik dana pemerintah dari BI untuk ditempatkan di bank umum berisiko kontraproduktif. Tanpa iklim investasi yang kondusif, dana tersebut hanya akan mengendap, bahkan membuka peluang fraud.

Fakta di lapangan menunjukkan, bank umum tidak kekurangan dana (DPK relatif tinggi, LDR nasional moderat), melainkan kekurangan permintaan kredit yang layak (feasible). Artinya, tambahan likuiditas tidak otomatis mengalir ke dunia usaha, melainkan kembali ditempatkan di instrumen aman seperti SBN, BI, atau giro.

Indonesia membutuhkan ekonomi berdikari partisipatif, yakni iklim usaha sehat dari bawah, pengurangan biaya transaksi, penguatan koperasi, UMKM, dan komunitas lokal. Dengan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, potensi hilirisasi minerba dan energi transisi bisa benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, bukan sekadar angka di atas kertas.

Salam pemberdayaan, Sigit Iko

× Image