Implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) JKN: Kesiapan Infrastruktur dan SDM Keperawatan di Rumah Sakit
TOPNEWS62.COM, JAKARTA -- Pada 8 Mei 2024, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Perpres No. 59 Tahun 2024, yang mewajibkan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) di seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan paling lambat 30 Juni 2025. KRIS merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan akses setara bagi seluruh peserta JKN dan meningkatkan mutu pelayanan. Kebijakan bertujuan menciptakan keadilan layanan kesehatan dengan menghapus sistem kelas berdasarkan status ekonomi dan menggantikannya dengan standar layanan yang setara.
Sistem kelas dalam pelayanan rawat inap yang diterapkan BPJS sebelumnya dianggap bertentangan dengan amanat Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 2004 tentang prinsip asuransi sosial dan ekuitas dalam penyelenggaraan JKN. Untuk menjawab amanat UU tersebut, terbitlah Perpres No 64 Tahun 2020 yang mengatur peninjauan kembali manfaat JKN termasuk manfaat rawat inap. KRIS diusulkan untuk menggantikan sistem kelas yang ada dengan standar layanan yang sama bagi semua peserta,
Survei Kemenkes 2024 terhadap 3063 rumah sakit menunjukkan bahwa 87% di antaranya memenuhi 12 kriteria KRIS, sementara 13% belum memenuhi. Mayoritas rumah sakit yang belum memenuhi standar adalah rumah sakit daerah kelas C/D dan swasta. Tantangan terbesar terletak pada indikator kamar mandi di dalam ruangan (86%), aksesibilitas kamar mandi (84%), dan ketersediaan outlet oksigen (85%).
Kemenkes memperkirakan biaya renovasi untuk memenuhi standar KRIS mencapai Rp 30 juta per ruangan untuk akses kamar mandi dan Rp 20-24 juta per ruangan untuk pemasangan outlet oksigen. Pemerintah telah mengalokasikan hingga Rp 400 miliar dari dana BLU/BLUD untuk rumah sakit kelas A dan B. Sementara itu, rumah sakit kelas C/D mendapat dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK). Besaran bantuan untuk rumah sakit kelas A sebesar 200-400M/tahun sedangkan rumah sakit kelas B mendapat bantuan sebesar 50M/tahun sedangkan untuk rumah sakit kelas C/D diberikan bantuan sebesar Rp 2,5 miliar per tahun, terutama untuk wilayah dengan kemampuan fiskal rendah. Namun, pembiayaan ini belum mencakup kebutuhan rumah sakit swasta, yang bergantung pada dana mandiri.
Untuk memvalidasi hasil survey tersebut, Kemenkes bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) melakukan kunjungan lapangan ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kemenkes menargetkan 2423 rumah sakit tervalidasi memenuhi standar KRIS pada akhir 2024 dan 3063 (seluruh) rumah sakit sebelum 30 Juni 2025. Namun, baru 1062 rumah sakit yang tervalidasi pada hasil kunjungan lapangan Kemenkes tanggal 10 Juli 2024. Angka ini hanya bertambah sebanyak 67 rumah sakit dari tahun sebelumnya. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap kelayakan pencapaian target rumah sakit yang tervalidasi untuk implementasi KRIS.
Selain infrastruktur, penerapan KRIS perlu memperhatikan kesiapan rumah sakit dalam hal pengelolaan SDM kesehatan khususnya perawat. Perawat merupakan tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak yang memberikan pelayanan 24 jam bagi pasien di rumah sakit. Peran tenaga keperawatan sangat vital dalam implementasi KRIS. Standar WHO merekomendasikan rasio perawat terhadap pasien sebesar 1:5 untuk rawat inap, tetapi banyak rumah sakit di Indonesia belum mencapainya. Rasio perawat-pasien ini akan berdampak terhadap beban kerja perawat dan tingkat stress / burnout dari perawat. Beban kerja perawat yang tinggi dapat memengaruhi kualitas layanan, sementara distribusi perawat yang tidak merata menjadi kendala besar, khususnya di daerah terpencil.
KRIS adalah langkah penting dalam menciptakan keadilan layanan kesehatan di Indonesia. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, dukungan pembiayaan, dan kualitas SDM kesehatan. Pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menjadi kunci untuk mewujudkan layanan kesehatan yang setara bagi seluruh peserta JKN. Agar KRIS dapat dilaksanakan dengan sukses, pemerintah perlu mempertimbangkan fleksibilitas waktu dalam implementasi KRIS. KRIS sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan rumah sakit berdasarkan wilayah dan kapasitasnya. Pemerintah juga perlu memastikan kesiapan implementasi KRIS melalui monitoring ketat, pendampingan dan evaluasi berkelanjutan. Untuk mempercepat kesiapan rumah sakit terhadap standar KRIS, pemerintah juga diharapkan dapat mempertimbangkan peningkatan besaran DAK bagi rumah sakit kelas C/D dan mekanisme pinjaman lunak atau hibah bagi rumah sakit swasta. Dengan berlakunya KRIS, pemerintah juga perlu meninjau kembali tarif INA-CBGs agar mencerminkan biaya operasional yang dikeluarkan rumah sakit dalam mempersiapkan standar KRIS. Sementara itu, untuk mempersiapkan SDM keperawatan pemerintah diharapkan melakukan peninjauan rasio perawat-pasien sesuai dengan beban kerja perawat dengan menambah jumlah perawat dan distribusi tenaga perawat ke wilayah yang kekurangan. Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau kembali penghargaan finansial maupun non finansial bagi perawat dan meningkatkan pelatihan berkelanjutan untuk menjamin untuk menjamin kesetaraan kompetensi tenaga keperawatan di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh Ns Dara Ayu Wardhani, S.Kep. Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana peminatan kepemimpinan dan manajemen keperawatan