Wisata Budaya, Mengenai Lebih Dekat Budaya Iket Sunda
TOPNEWS62.COM- Bandung (17/02/2024) – Wisata, Kebudayaan dan sejarah kadang tak dapat dipisahkan dengan kebiasaan atau adat istiadat, seperti Iket Sunda merupakan salah satu ciri khas sunda yang berfungsi sebagai penutup kepala, Iket Sunda sudah digunakan sejak jaman Kerajaan di Tatar Parahyangan. Di 2013 melalu FGD di Kota Bandung, telah lahir motif baru yang khusus didesign sebagai iket khusus Kota Bandung. Karya Agus Roche Effendi ini dibuat dengan mengikuti dasar dari wujud Barangbang semplak dan Makutapurwa, serta menggabungkan pula tumbuhan khas Kota Bandung yang dikenal dengan Bunga Patrakomala
Makuta Bandung akhirnya hadir dengan 3 komponen di dalam motifnya antara lain :
1. Bunga Patrakomala : Menyimbolkan kecantikan Bandung dan penduduknya yang kreatif
2. Kujang Ciung, menyimbolkan Kubudayaan Sunda yang luar biasa
3. Cai Sagara, menyimbolkan kehidupan masyarakat Bandung yang memiliki peradaban tinggi untuk menuju kehidupan yang makmur
Terdapat dua jenis Iket yang berasal dari Motif Makuta Bandung, yaitu
1. Makuta Bandung Purwa dengan ciri khas ikatan di bagian depan sehingga memberikan kesan tebal dibagian depannya, bagian atas kepala terbuka
2. Makuta Bandung Luhung dengan ciri khas ikatan di bagian belakang sehingga memberikan kesan tebal di bagian belakang, dan bagian atas kepala tertutup
Yuk, Wargi agar Iket Sunda tidak hilang dimakan zaman, kita harus semakin sering dan terus bangga nih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Iket, Totopong, atau Udeng merupakan bagian tutup kepala yang terbuat dari kain dengan corak khas budaya Sunda. Fungsi utama iket Sunda ini adalah sebagai sebagai pelindung kepala dari panas matahari, angin, dan cuaca, tetapi lebih terkenal sebagai pelengkap atau aksesoris busana Sunda.
Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa :
“sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun Pancadharma .“
artinya : “barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan Pancadharma “
Hukum Pancadharma yaitu Apal jeung hormat ka Purwadaksi Diri (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri). Tunduk kana Hukum jeung Aturan (Tunduk akan hukum dan tata tertib/aturan). Berilmu (Dilarang Bodoh), Mengagungkan Sang Hyang Tunggal (Sang pencipta, Tuhan yang Maha Esa). Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.
Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT KA LIMA PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan TRITANGTU dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai PANCANITI.Tahapan tersebut adalah Niti Harti (Tahap mengerti), Niti Surti (Taham memahami), Niti Bukti (Tahap membuktikan), Niti Bakti (Tahap membaktikan),Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta).
Sebagai salah satu hasil seni budaya Jawa Barat ini, keberadaan iket harus tetap dilestarikan sehingga tetap dikenal oleh anak-anak muda generasi penerus suku Sunda yang sebelumnya sudah turun temurun. Kang Mochamad Asep Hadian Adipradja di Pulasara Iket, membagi rupa iket menjasi tiga kategori yaitu:
1. Iket Réka-an Baheula
Iket Réka-an Baheula adalah rupa iket yang penggunaanya sudah menjadi tradisi sehari-hari dan sudah ada sejak dulu di kampung-kampung adat Sunda tanpa dipengruhi unsur seni dari luar. Contoh rupa iket ini adalah yang biasa dipakai oleh orangtua dimana mereka sudah mengenakan rupa iket ini sejak remaja (anak-anak) dan sampai sekarang pun masih tetap memakainya.
Adanya beberapa kunjungan wisata dari kota/tempat lain dimana para pengunjung tersebut mengenakan iket budaya lain yang sedikit berbeda, terkadang dapat mempengaruhi sutu rupa iket Sunda bahkan tertarik untuk menirunya yang pada akhirnya terjadi transformasi bentuk. Mochamad Asep mengambil patokan tahun yang dikatakan rékaan baheula adalah sebelum tahun 1999 karena pada tahun tersebut Musium Sri Baduga telah membuat beberapa artikel mengenai penutup kepala. Yang termasuk Iket Réka-an Baheula di antaranya: Iket Barangbang Semplak, Iket Julang Ngapak, Iket Kuda Ngencar, Iket Parekos Nangka,Iket Parekos Jengkol, Iket Kekeongan (Borongsong Keong : Banten), Iket Maung Heuay, Iket Porteng
2. Iket Réka-an Kiwari
Iket Réka-an Kiwari adalah rupa iket hasil karya dari sendiri (pribadi) sesuai dengan ide, inspsirasi, dan kreasi yang disenanginya. Namun demikian prinsipnya tetap menggunakan jenis kain yang sama yaitu kain juru opat (segi empat). Iket Reka-an ini merupakan bentuk dari penemuan, imajinasi, atau surup-an dari hal hal tertentu, bahkan mungkin saja Rupa Iket Reka-an ini adalah hasil dari rupa iket Buhun yang dilahirkan kembali setelah bertahun-tahun tidak diketahui. Hal ini bisa dibuktikan melalui beberapa saksi hidup dari dari generasi penerusnya. Menurut Mochamad Asep Hadian Adipradja-Pulasara Iket, Rupa Iket Rekaan Kiwari ini mulai banyak di temukan pada tahun 2011 hingga sekarang. Yang termasuk Iket Réka-an Kiwari di antaranya: Iket Candra Sumirat, Iket Maung Leumpang, Iket Hanjuang Nangtung
3. Iket Praktis
Iket Praktis ini adalah Rupa Iket tinggal pakai atau sudah jasi sehingga para pengguna tidak lagi perlu mengikat atau membentuk iket dengan teknik-teknik tertentu tetapi dapat langsung dipakai. Rupai iket Praktis ini mulai dikela sejak tahun 2008. Sama seperti rupa iket lain, Rupa Iket Praktis ini juga mempunyai corak dan warna yang bervariasi tetapi masih sama menggunakan kain juru opat (segi empat). Contoh Rupa Iket Praktis di antaranya: Iket Praktis Parekos, Iket Praktis Makuta Wangsa, Iket Praktis Mancala Putra.