Home > Nasional

Terampil Menikmati Setiap Momen

Saat menghadapi kesulitan, kita diajak untuk bersabar. Saat mendapat nikmat, kita dituntun untuk bersyukur. Bersyukur sejatinya bukan hanya mengucap alhamdulillah, tapi juga meninggalkan keluh kesah.
Dok. Mas Imam Nawawi
Dok. Mas Imam Nawawi

TOPNEWS62.COM, DEPOK –Hati manusia, konon, adalah bagian paling lelah dalam hidup ini. Ia berbolak-balik tanpa henti, mudah tersulut oleh hal-hal kecil. Melihat sedikit keanehan, hati langsung menebak, berprasangka, lalu melompat pada asumsi-asumsi tanpa dasar. Belum juga sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi, hati sudah memvonis dengan “keputusan akhir.” Akibatnya, gelisah, resah, dan galau pun tak terhindarkan.

Islam mengajarkan kita untuk terampil menikmati setiap momen. Terampil bukan sekadar bisa menyesuaikan diri, tetapi mampu menjaga hati tetap tenang dan teduh di tengah berbagai situasi kehidupan.

Keteladanan dari Rasulullah SAW

Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata bagaimana ketenangan hati bisa menjadi kekuatan luar biasa. Dalam perjalanan dakwah ke Thaif, harapan beliau untuk mendapat sambutan hangat justru berbalik dengan penolakan dan hinaan. Namun, beliau tidak terpancing amarah. Saat malaikat menawarkan hukuman bagi penduduk Thaif, Nabi dengan lembut berkata, “Jangan hukum mereka. Aku berharap kelak keturunan mereka akan menerima risalah Islam.”

Demikian pula saat kemenangan besar diraih dalam peristiwa Fathu Makkah. Rasulullah SAW tidak menjadi sombong atau membalas dendam. Sebaliknya, beliau tampil dengan kerendahan hati dan kasih sayang. Sikap lembut itulah yang akhirnya meluluhkan hati Abu Sufyan hingga masuk Islam.

Makna “Ingat kepada Allah”

Ketika Allah berfirman bahwa hati akan tenang dengan mengingat-Nya, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar lisan berdzikir. Mengingat Allah berarti menjadikan ajaran-Nya sebagai komitmen hati dalam setiap sikap dan keputusan.

Saat menghadapi kesulitan, kita diajak untuk bersabar. Saat mendapat nikmat, kita dituntun untuk bersyukur. Bersyukur sejatinya bukan hanya mengucap alhamdulillah, tapi juga meninggalkan keluh kesah.

Sebaliknya, hati yang lalai dari Allah mudah tergelincir pada keburukan. Ia lebih menuruti amarah daripada mencari ridha-Nya, lebih merasa benar dengan egonya daripada tunduk pada kehendak Ilahi. Padahal, manusia hanyalah hamba — makhluk yang lemah di hadapan kekuasaan Allah.

Allah mengingatkan dalam firman-Nya:

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)

Menata Hati, Menikmati Hidup

Semakin kita menyadari kebesaran Allah SWT, semakin terampil pula kita menikmati setiap momen kehidupan. Terampil di sini bukan sekadar soal kemampuan teknis, melainkan kemampuan mendahulukan ajaran Allah di atas keinginan pribadi.

Contohnya sederhana. Ketika seseorang yang kita tunggu datang terlambat, hati bisa memilih untuk marah atau kecewa. Namun, hati yang terampil akan memilih mengisi waktu menunggu dengan hal-hal yang diridhai Allah — berdzikir, membaca Al-Qur’an, atau menunaikan shalat sunnah.

Sebab pada akhirnya, jika kita bisa memilih sikap yang Allah sukai, apa untungnya menuruti amarah yang hanya merusak diri dan mengundang murka-Nya?

Mas Imam Nawawi

× Image