Evaluasi Kinerja Bikin Karyawan Resign? 360-Degree Feedback Bisa Jadi Solusi

TOPNEWS62.COM, JAKARTA – Ketidakpuasan karyawan terhadap fairness atau keadilan dalam penilaian kinerja menjadi salah satu pemicu tingginya angka turnover di berbagai perusahaan. Laporan Deloitte Global Human Capital Trends 2025 mencatat, lebih dari dua pertiga (66,6%) pekerja merasa sistem evaluasi kinerjanya tidak adil dan kurang setara.
Banyak karyawan yang sudah bekerja keras, namun merasa diperlakukan tidak proporsional karena penilaian yang tidak mencerminkan kontribusi mereka. Penyebabnya beragam: kriteria penilaian yang tidak jelas, kurangnya umpan balik konstruktif, hingga keputusan penilaian yang hanya ditentukan atasan langsung. Situasi ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga tantangan besar dalam membangun loyalitas dan keterlibatan karyawan.
Fenomena tersebut menunjukkan pentingnya isu fairness dalam proses evaluasi. Karyawan tidak hanya berinteraksi dengan atasan, melainkan juga dengan rekan sejawat, bawahan, bahkan lintas divisi. Mengabaikan sudut pandang mereka berarti kehilangan potret utuh tentang kontribusi seseorang dalam organisasi.
“Evaluasi kinerja bukan hanya soal administrasi tahunan atau angka bonus. Ini menyangkut rasa dihargai. Ketika karyawan merasa penilaiannya tidak adil, dampaknya bisa langsung pada motivasi, loyalitas, hingga keputusan mereka bertahan atau keluar dari perusahaan,” ujar Kartika Amelia, pakar pengembangan SDM dari Human Care Consulting (HCC).
Menurut Kartika, salah satu pendekatan yang kini semakin relevan adalah 360-Degree Feedback. Metode ini melibatkan penilaian dari berbagai pihak: atasan, rekan sejawat, bawahan, bahkan penilaian diri sendiri. Hasilnya, perusahaan mendapatkan gambaran yang lebih objektif tentang kinerja, kepemimpinan, dan interaksi seorang karyawan.
Bagi karyawan, sistem ini membuka wawasan lebih luas mengenai kekuatan dan area pengembangan mereka, bukan sekadar menerima opini sepihak. “Sering kali ada gap antara cara seseorang menilai dirinya sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya. Gap ini bisa jadi sumber stres, tapi juga peluang belajar. 360-Degree Feedback membuka ruang dialog konstruktif untuk menutup gap tersebut,” tambah Kartika.
Manfaat bagi perusahaan juga signifikan. Data dari 360-Degree Feedback dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan terkait pengembangan SDM, pelatihan, promosi, hingga suksesi jabatan. Selain itu, feedback beragam membantu memastikan perilaku karyawan selaras dengan nilai dan budaya organisasi, sekaligus menumbuhkan agen-agen perubahan yang mampu membawa pengaruh positif di tim.
Berbagai riset global memperkuat temuan ini. Studi Thrive Sparrow (2025) menunjukkan 78% profesional lebih mungkin bertahan di perusahaan yang aktif berinvestasi dalam pengembangan diri karyawan melalui sistem feedback berkelanjutan. Sementara penelitian PLoS ONE (2025) terhadap 25.285 karyawan menemukan bahwa fairness dalam evaluasi kinerja sangat berkorelasi dengan kepuasan kerja dan keterlibatan. Sebaliknya, persepsi ketidakadilan meningkatkan risiko burnout dan turnover.
Implementasi 360-Degree Feedback terbukti dapat memperkuat retensi. Ketika karyawan merasa suaranya didengar dan mendapat feedback yang konstruktif, mereka cenderung lebih termotivasi dan loyal. Dalam jangka panjang, perusahaan diuntungkan lewat meningkatnya produktivitas tim dan akurasi dalam promosi jabatan.
Kesimpulannya, evaluasi kinerja bukan sekadar soal skor tahunan. Ia adalah cerminan cara perusahaan memperlakukan manusianya. Dengan membuka ruang dialog lebih luas lewat 360-Degree Feedback, perusahaan bukan hanya menilai, tetapi juga mendukung perjalanan pengembangan karyawan — menjaga keseimbangan antara kebutuhan bisnis untuk tumbuh dan kebutuhan karyawan untuk merasa dihargai.