Home > Travel dan Haji

Sepinya Nabawi, Sepinya Hati Kami

Masjid Nabawi adalah pusat kegiatan jemaah haji dari seluruh dunia saat berada di Madinah
Dok.kemenag
Dok.kemenag

TOPNEWS62.COM, Masjid Nabawi adalah pusat kegiatan jemaah haji dari seluruh dunia saat berada di Madinah, dan juga menjadi titik utama pelayanan jemaah haji Indonesia. Tim Media Centre Haji (MCH) tidak hanya menjadikan Masjid Nabawi dan sekitarnya sebagai pusat sumber berita, tetapi juga sebagai tujuan untuk mencari jemaah yang membutuhkan bantuan. Kami sering bertemu dengan jemaah dari berbagai negara yang memerlukan pertolongan, banyak di antaranya terpisah dari rombongan atau tidak tahu arah jalan pulang ke hotel. Sebagian besar dari mereka adalah lansia, sama seperti banyak jemaah haji Indonesia.

Membantu jemaah haji Indonesia tentu lebih mudah karena menggunakan bahasa yang sama. Namun, banyak juga jemaah Indonesia, terutama yang lanjut usia, yang hanya bisa berbahasa daerah. Misalnya, jemaah asal Makassar bisa saya bantu karena saya bisa berbahasa Makassar. Teman-teman jurnalis lain juga saling membantu berdasarkan kemampuan bahasa daerah mereka, seperti Khairina dari Solo yang membantu jemaah berbahasa Jawa, dan Hikmah dari Humas Kemenag RI yang membantu jemaah asal Palembang.

Namun, ketika jemaah dari negara seperti Iran, Irak, Tunisia, Nigeria, Kazakhstan, Zimbabwe, dan beberapa negara Afrika lainnya membutuhkan bantuan, kami sering kali menggunakan bahasa isyarat karena mereka umumnya tidak bisa berbahasa Inggris. Kadang komunikasi berhasil, tetapi tidak jarang juga gagal. Mereka bingung, kami pun bingung. Solusinya, kami antar mereka ke pos pelayanan di Masjid Nabawi yang disediakan oleh manajemen masjid.

Jika kami memahami apa yang mereka maksud, kami akan membuka peta khusus jemaah haji Indonesia yang menunjukkan lokasi hotel-hotel jemaah. Di dalamnya tercantum nama, nomor hotel, dan posisi hotel relatif terhadap pintu gerbang Masjid Nabawi. Peta ini sangat membantu kami untuk menunjukkan arah pulang bagi jemaah asing.

Selama bertugas, kami selalu mengenakan baju seragam agar mudah dikenali oleh jemaah haji Indonesia. Atribut seragam kami penuh dengan identitas Indonesia. Tulisan besar di punggung rompi hitam kami, dalam bahasa Indonesia dan Arab, serta bendera merah putih di lengan kanan, membuat kami mudah dikenali.

Sebagai jurnalis yang tergabung dalam Tim Media Centre Haji (MCH) tahun ini, kami setiap hari menyisir Masjid Nabawi. Dari pintu 333 hingga 310, kadang dari pintu 338 hingga 326. Tak jarang kami menemukan jemaah yang tersesat jauh dari area penginapannya karena keluar dari Masjid Nabawi tidak melalui pintu yang sama saat masuk. Ada juga jemaah yang kebingungan karena ditinggal temannya saat mengisi botol minum dengan air Zamzam. "Saat saya balik, teman saya sudah tidak ada," kata seorang jemaah asal Lombok yang meminta diantar pulang ke penginapannya.

Jemaah tidak hanya meminta informasi seputar pondokan, tetapi juga bertanya tentang lokasi ATM, money changer, toilet, tempat membeli makanan Indonesia, hingga toko oleh-oleh murah.

Panas yang menyengat dengan suhu yang kadang mencapai 47 derajat Celsius tidak menjadi alasan untuk menolak membantu. Itu adalah komitmen semua petugas haji Indonesia. Jurnalis yang sedang meliput pun harus meninggalkan liputannya demi membantu jemaah. Kami menahan panas dengan harapan mendapat rahmat dari Allah SWT, memakai masker, menutup kepala dengan topi, dan memercikkan air di kepala saat panas sangat menyengat. Kami selalu membawa perlengkapan "jihad" termasuk kanebo untuk mendinginkan ponsel. Lelah tapi nikmat. Panas tapi hati kami sejuk. Apalagi setiap kali melihat kubah hijau di Nabawi, di mana Rasulullah SAW terbaring, kami yakin kekasih Allah itu tersenyum memandang kami.

Maafkan kami, Ya Rasul. Apa yang kami lakukan tidak akan pernah mampu menandingi perjuanganmu bersama para sahabat dalam memperjuangkan agama Islam. Kami datang untuk memuliakan tamu Allah dengan begitu banyak kemudahan, tanpa perlu menggunakan unta, dengan air Zamzam tersedia di mana-mana, dan tanpa ancaman.

Kami, petugas haji Indonesia, menikmati tugas ini. Namun, ketika seluruh jemaah haji Indonesia sudah berangkat ke Makkah, kami merasakan sepinya Masjid Nabawi. Tidak ada lagi lansia yang kami dorong dengan kursi roda, tidak ada lagi yang kami tuntun menuju hotel, tidak ada lagi yang meminta "Bu dokter, bisa minta vitamin?" Tidak ada lagi ibu-ibu yang bertanya tentang siklus haidnya, mengira kami dokter karena seragam putih yang kami kenakan. Sungguh nikmat.

Malam sebelum kami pindah tugas ke Makkah, saya dan dua rekan kembali ke Nabawi, berharap bertemu jemaah haji asal Indonesia, meski dari ONH Plus. Kami bertemu Pak Munir, pendiri salah satu biro travel dari Surabaya. Hati kami bergetar ketika dia mengucapkan terima kasih. Seingat kami, kami belum pernah bertemu dengannya, apalagi menolongnya.

"Terima kasih sudah membantu jemaah haji Indonesia dengan sangat baik. Saya dengar cerita dari banyak orang tentang petugas haji," katanya.

Semoga semua jemaah haji Indonesia merasakan hal yang sama. Kami di sini hadir mewakili negara dan berusaha bekerja maksimal menjamu tamu-tamu Allah.

× Image