Home > Nasional

Menjaga Daya Saing Komoditas Lokal di Tengah Tekanan Global

Di balik narasi proteksionisme dan America First, terdapat pesan yang harus dibaca secara jernih: era perdagangan bebas.
Dok. Istimewsa/SigitIko
Dok. Istimewsa/SigitIko

TOPNEWS62.COM, JAKARTA -- Kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden Donald Trump pada masa pemerintahannya telah menjadi alarm bagi negara-negara mitra dagang Amerika Serikat, termasuk Indonesia. Di balik narasi proteksionisme dan “America First”, terdapat pesan yang harus dibaca secara jernih: era perdagangan bebas tidak lagi tanpa syarat, dan hanya produk-produk unggul serta ekosistem investasi yang sehat yang mampu bertahan dalam pusaran kompetisi global.

Secara teoritis, produk Indonesia masih memiliki peluang besar untuk menembus pasar global, bahkan dalam kondisi proteksionisme sekalipun. Selama produk kita memiliki keunikan, kualitas, dan tidak mudah disubstitusi oleh kompetitor, maka permintaannya akan tetap tinggi, meski dikenakan tarif yang lebih besar.

Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai ekspor sekitar 8,99% dari total ekspor nasional pada tahun 2023. Produk-produk utama yang diekspor ke Negeri Paman Sam antara lain peralatan dan mesin listrik (USD 36 miliar), produk karet (USD 19,2 miliar), kendaraan dan suku cadang (USD 16,8 miliar), alas kaki (USD 14,4 miliar), serta plastik, kertas, dan tekstil. Sayangnya, sebagian besar produk ini masih berbasis industri manufaktur yang homogen dan bersaing dalam pasar yang padat serta sensitif terhadap tarif.

Sebaliknya, komoditas berbasis sumber daya lokal seperti kopi Gayo, kakao Sulawesi, vanili Flores, rumput laut dari Nusa Tenggara Timur, hingga batik dan tenun dari berbagai daerah adalah contoh produk yang memiliki keunikan tak tergantikan. Produk-produk ini berpotensi menjadi andalan Indonesia dalam pasar global yang mulai menuntut cerita, keberlanjutan, dan identitas budaya dalam setiap barang yang dikonsumsi.

Namun, masih terlalu banyak tantangan struktural yang menghambat produk unggulan lokal untuk benar-benar menjadi pemain global. Kompleksitas perizinan, birokrasi yang tidak bersih, pungutan liar, serta rendahnya kesiapan sumber daya manusia (SDM) lokal kerap menjadi penghalang utama. Tidak jarang, kehadiran investor pun menimbulkan konflik sosial karena lemahnya literasi investasi serta ketidaksiapan kelembagaan lokal.

Untuk itu, daya saing komoditas tidak hanya dibentuk dari sisi produk, tetapi juga dari ekosistem sosial dan kelembagaan yang menyertainya. Komitmen pemerintah menjadi fondasi pertama. Tanpa kepemimpinan yang bersih dan berpihak pada pembangunan jangka panjang, kebijakan hanya akan berhenti sebagai slogan. Aparatur yang profesional dan tidak transaksional menjadi kunci agar sistem berjalan adil dan efisien.

Di sisi lain, masyarakat lokal juga perlu dipersiapkan sebagai subjek utama dalam perubahan. Meningkatkan kualitas SDM, mengubah budaya kerja, serta membangun narasi kolektif bahwa investasi adalah peluang, bukan ancaman, harus menjadi bagian dari strategi pembangunan daerah.

Dok. Istimewa/Sigit IKo
Dok. Istimewa/Sigit IKo

Sudah saatnya Indonesia membangun “zona hijau investasi komunitas”—wilayah-wilayah yang tidak hanya siap secara infrastruktur, tetapi juga matang secara sosial, budaya, dan kelembagaan. Di sana, investasi tidak datang untuk menggerus nilai-nilai lokal, melainkan tumbuh dari kekayaan lokal itu sendiri.

Jika ini bisa kita wujudkan, maka proteksionisme negara lain bukanlah ancaman, melainkan pengingat agar kita berdaulat atas sumber daya dan masa depan ekonomi kita sendiri.

Oleh: Sigit Iko Sugondo (Pemberdayaan Masyarakat Ekspert)

× Image