Home > Nasional

Disorientasi Kebijakan Tembakau Era Jokowi dan Masa Depan Pengendalian

(CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), menyoroti bahwa selama era Jokowi, prevalensi perokok anak dan masyarakat miskin tetap tinggi
Dok.CHED.ITB-AD
Dok.CHED.ITB-AD

TOPNEWS62.COM, CIPUTAT – Minggu (15/09/2024) Selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014–2024), kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia dinilai mengalami disorientasi yang mendalam. Tanpa adanya perubahan signifikan, situasi ini diprediksi akan berlanjut ke pemerintahan selanjutnya, khususnya dengan visi pasangan capres dan cawapres Prabowo-Ghibran yang tidak secara eksplisit memasukkan pengendalian tembakau dalam program mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan nasib bonus demografi dan cita-cita Indonesia Emas di masa depan.

Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), menyoroti bahwa selama era Jokowi, prevalensi perokok anak dan masyarakat miskin tetap tinggi. "Pemerintah selama ini belum berhasil meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Kebijakan seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR) hanya sebatas wacana, sementara akses rokok masih mudah dijangkau oleh anak-anak dan remaja," tegas Mukhaer.

Mukhaer menilai kenaikan tarif cukai rokok tidak konsisten dengan rekomendasi WHO, dan kebijakan yang ada belum mampu menurunkan konsumsi tembakau secara signifikan. Lebih jauh lagi, industri rokok terus memperkuat posisinya melalui lobi politik dan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang membungkus citra mereka sebagai "penyumbang" masyarakat.

"Indeks Gangguan Industri Tembakau di Indonesia mencapai 84 poin, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh industri rokok dalam menggagalkan kebijakan pengendalian yang lebih ketat di berbagai lini pemerintahan," tambah Mukhaer.

Indonesia kini menjadi negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia Tenggara, dengan 65,7 juta orang perokok, 67 persen di antaranya dari kelompok masyarakat miskin. Hal ini memperparah kondisi kesehatan nasional dan menambah beban ekonomi negara.

Di tengah pergantian pemerintahan yang akan datang, Mukhaer menyarankan langkah konkret untuk memperbaiki pengendalian tembakau di akhir tahun 2024. Salah satu rekomendasinya adalah kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang lebih agresif, termasuk untuk rokok elektronik dan tembakau iris, dengan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) minimal 25 persen per tahun untuk semua jenis rokok.

Mukhaer juga menyarankan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 5 lapisan, yang kemudian dapat dipangkas menjadi 3 lapisan. Selain itu, ia menekankan pentingnya revisi pengawasan harga transaksi pasar yang harus dipatok pada 100 persen dari harga jual eceran yang telah ditetapkan, serta perbaikan desain pita cukai agar tidak menutupi peringatan kesehatan bergambar.

"Dengan adanya digital stamp, integrasi pengawasan harga transaksi pasar rokok dengan kementerian dan lembaga terkait akan menjadi lebih mudah, efektif, dan akuntabel," jelasnya.

Mukhaer menutup dengan peringatan tegas. "Jika kebijakan pengendalian tembakau tidak segera diperketat, masa depan bonus demografi Indonesia bisa tergadai oleh kepentingan industri rokok. Pemerintah berikutnya harus segera bertindak untuk menjaga masa depan Indonesia dari ancaman ini."

Dengan langkah-langkah konkret dan kemauan politik yang kuat, Indonesia masih memiliki peluang untuk memperbaiki kebijakan tembakau dan menjaga kesehatan generasi mendatang.

× Image