Home > Wisata

Wisata Budaya, Tradisi Upacara Ngaben Agama Hindu Di Bali

Bagi masyarakat Bali, Tradisi Ngaben merupakan sebuah peristiwa yang sangat sakral, langka, penting dan ada keterikatan upacara kegiatan ini dengan keluarga yang ditinggalkan, pelepasan serta dapat membebaskan roh orang yang telah meninggal
Dok.bulelengkab.go.id
Dok.bulelengkab.go.id

TOPNEWS62.COM- Ubud, Sabtu (20/04/2024) Bagi masyarakat Bali, Tradisi Ngaben merupakan sebuah peristiwa yang sangat sakral, langka, penting dan ada keterikatan upacara kegiatan ini dengan keluarga yang ditinggalkan, pelepasan serta dapat membebaskan roh orang yang telah meninggal dari ikatan duniawi menuju moksa atau surga. Seperti upacara Ngaben yang dilaksanakan di Puri Ubud, Minggu 14 April 2024 kemaren, menjadi pusat perhatian dunia Internasional dalam Wisata budaya Indonesia, dimana Prosesi Pelebon atau Ngaben ini dilaksanakan untuk keturunan para Raja Ubud almarhum Tjokorda Bagus Santaka. Almarhum dari Puri Saren Kauh Ubud kawasan Puri Ubud di Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar Bali

Bagi masyarakat Bali dan lingkungan sekitarnya, turis, tamu manca negara dan wisatawan domestik hal ini menjadi sesuatu yang memiliki daya mangnet tersendiri. Jutaan manusia tumpah ruah menyaksikan dalam acara prosesi upacara pelebonan tersebut yang sangat luar biasa menjadikan lautan manusia disepanjang iring iringan Pelebon. Upacara ini sangatlah sakral dan langka karena tidak semua orang bisa melaksanakan upacara budaya Ngaben atau Pelebon yang terselenggara terstrukur seperti ini hanya keturunan Raja saja hal ini dapat disaksikan. Sebuah Pemandangan yang sangat unik dan langka bisa menyaksikan lebih dekat Bade Tingkat sembilan atau istilahnya Tumpang Sembilan setinggi 25 meter ,Naga Banda dan Lembu Tangi (Lembu berwarna Ungu) semua diarak ikut menghantarkan jenazah menuju ke peristirahatan terakhir yaitu Setra Dalem Puri.

Upacara Ngaben Dalam agama Hindu

Ngaben merupakan upacara pembakaran jenazah umat Hindu di Bali.Upacara ngaben adalah suatu ritual yang dilaksanakan untuk mengembalikan roh leluhur ke tempat asalnya.Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut palebon. Palebon berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar (ngaben) dan menanam ke dalam tanah (metanem).

Tujuan dari upacara ngaben adalah mempercepat ragha sarira agar dapat kembali ke asalnya,yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dapat cepat menuju alam pitra.landasan filosofis ngaben secara umum adalah panca sradha yaitu lima kerangka dasar Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena wujud cinta kepada para leluhur dan bhakti anak kepada orang tuanya.Upacara ngaben merupakan proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta. Ngaben juga disebut sebagai pitra yadnya ( lontar yama purwana tattwa).Pitra yang artinya leluhur atau orang yang mati sedangkan yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas.

Pelaksanaan ritual upacara ngaben / Pitra Yadnya

Upacara Atiwa-Tiwa, asal kata Atiwa-tiwa: Ati = berkeinginan, Awa = terang atau bening atau bersih. Artinya: Keinginan melaksanakan pebersihan dan penyucian jenasah dan kekuatan Panca Maha buthanya. Atiwa-tiwa juga disebut upacara melelet atau upacara pengeringkesan. Merupakan upacara pebersihan dan penyucian secara permulaan thd jenasah dari kekuatan Panca Maha Butha. Dikenal dg Puja Pitara utk meningkatkan kesucian Petra menjadi Pitara.

Ngeringkes atau Ngelelet pengertiannya adalah pengembalian atau penyucian asal mula dari manusa yaitu berupa huruf2 suci sehingga harus dikembalikan lagi. Manusia lahir diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, didalam jasad bermanifestasi menjadi Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra) dan Sastra Swalalita. Ketiga kekuatan sastra ini memberi makna Utpti, Stiti, Pralina (lahir, hidup, mati). Ketiga sastra ini kemudian bermanifestasi lagi memberi jiwa kepada setiap sel tubuh. Sebagai contoh Sastra Wrestra (Nuriastra) antara lain:

1. A = kekuatan pada Ati Putih

2. Na = kekuatan pada Nabi (pusar)

3. Ca = cekoking gulu (ujung leher)

4. Ra = tulang dada (tulang keris)

5. Ka = pangrengan (telinga)

6. Da = dada

7. Ta = netra (mata)

8. Sa = sebuku-buku (sendi)

9. Wa = ulu hati (Madya)

10. La = lambe (bibir)

11. Ma = cangkem (mulut)

12. Ga = gigir (punggung)

13. Ba = bahu (pangkal leher)

14. Nga = irung (hidung

15. Pa = pupu (paha)

16. Ja = jejaringan (penutup usus)

17. Ya = ampru (empedu)

18. Nya = smara (kama)

Tubuh manusia memiliki 108 Sastra Dirga (huruf-huruf suci) yang pada waktu meninggal sastra2 itu dikembalikan ke sastra Ongkara Mula atau disebut Ongkara Pranawa. Proses pengembalian ini disebut Ngeringkes yang memerlukan upacara dan sarana. Atiwa-tiwa sudah merupakan pensucian tahap permulaan, sehingga setelah atiwa-tiwa jenasah sudah bisa digotong dinaikkan ke paga atau wadah. Jika dikubur tanpa atiwa-tiwa sesungguhnya jenasah tidak boleh digotong, tetapi dijinjing karena masih berstatus Petra.

Upakara Atiwa-Tiwa

1. Upakara Munggah di Kemulan: Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.

2. Upakara Munggah di Surya: Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian

3. Upakara disamping jenasah : Peras, soda, daksina. Tipat kelanan. Banten saji pitara asele. Peras pengambean, penyeneng, rantasan. Eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan. Banten isuh-isuh, lis degdeg (lis gede), bale gading (Kereb Akasa).

4. Upakara Pepegatan : Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, sebuah lesung, segehan sasah 9 tanding.

5. Upakara Pengiriman :Pejati lengkap 4 soroh (termasuk pekeling di Prajapati), Saji Pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor dan nasi angkeb, Peras Pengambean, segehan sasah 9 tanding.

6. Upakara Pengentas Bambang : Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.

7. Upakara di Sanggah Cucuk: Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.

Jenis Upacara Ngaben

Upacara Pengabenan Ngewangun : Semua organ tubuh (sebagai awangun) memperoleh material upakara sehingga upakaranya banyak. Ngaben jenis ini diikuti dengan Pengaskaran. Ada dua jenis: (1) Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenasah atau watang matah. (2) Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tidak ada jenasah tetapi disimbulkan dengan adegan kayu cendana yang digambar dan ditulis aksara sangkanparan. Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbul). Wedana = rupa atau wujud. Dengan demikian Nyawa Wedana artinya dibuatkan rupa2an (simbolis manusia).

Upacara Pengabenan Pranawa : Pengabenan dengan sarana upakaranya ditujukan kepada 9 lobang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lobang, nafas, jalan) dan Nawa (artinya 9). Kesembilan lobang yang dimaksud adalah:

1. Udana (lobang kening), mempengaruhi baik buruknya pikiran

2. Kurma (lobang mata) mempengaruhi budhi baik atau buruk , terobos ke dasendriya

3. Krkara (lobang hidung), pengaruh Tri Kaya, jujur atau tidak4.Prana (mulut). Dosa bersumber dari mulut (Tri Mala Paksa)

5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan mempengaruhi manah – sombong dan durhaka

6. Samana (lobang pepusuhan), pengaruh jiwa menjadi loba dan serakah.

7. Naga (lobang lambung) pengaruh karakter yang berkaitan dg Sad Ripu

8. Wyana (lobang sendi) pengaruhi perbuatan memunculkan Subha Asubha Karma.

9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yg berkaitan denga Sapta Timira.

Kesembilan lobang manusia ini dapat mengantar manusia kelembah dosa. Pengabenan Pranawa juga diikuti dengan upacara pengaskaran.

Ada lima jenis Pengabenan Pranawa

1. Sawa Pranawa: Disertai jenasah atau watang matah

2. Kusa Pranawa : dg watang matah atau hanya dengan adegan saja. Adegannya disertakan pengawak dari 100 katih ambengan. Memakai upacara pengaskaran.

3. Toya Pranawa. Sama dg Kusa Pranawa, hanya didalam adegannya berisi payuk pere, berisi air dan dilengkapi dengan eteh2 pengentas. Juga memakai Pengaskaran.

4. Gni Pranawa. Sama dengan pranawa lainnya, juga melakukan pengaskaran tapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya menjadi sekah tunggal. Tanpa uperengga seperti Damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya memakai dammar layon, peti jenasah dan pepaga/penusangan.

5. Sapta Pranawa. Upacara ini dilakukan dirumah, menggunakan damar kurung dan pengaskaran. Tapi tidak menggunakan Bale Paga pd waktu mengusung jenasah ke setra. Hanya menggunakan pepaga/penusanganb. juga dilaksanakan langsung di setra tapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, serta pelaksanaan pengentasnya diata bambang.

Pengabenan Swastha : Pengabenan sederhana, dengan tingkat terkecil karena tidak dengan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang, otomatis tanpa upacara Pengajuman Kajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan payung pagut. Hanya menggunakan peti jenasah dan Pepaga/penusangan untuk mengusung ke setra. Pelaksanaan upacara di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini sering rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta asal katanya “su” (luwih, utama). Astha berasal dari Asthi (tulang, abu). Dengan demikian Swastha berarti pengabenan kembali ke intinya tapi tetap memiliki nilai utama. Pengabenan swstha terdiri dua jenis:

1. Pengabenan Swastha Geni. Penyelesaian di setra dengan cara membakar jenasah maupun tanpa jenasah. Hanya ada pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut. Setelah itu selesai.

2. Pengabenan Swastha Bambang. Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang penguburan jenasah. Kwantitas upakaranya sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambah dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan penganyutan , karena tidak dilakukan pembakaran melainkan dikubur. Sedangkan “pengelemijian” dan pengerorasan tetap dilaksanakan seperti ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk pengabenan nista utama, tidak memakai bale paga, tidak melaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra memakai tumpang salu saja.

3. Pengabenan Kerthi Parwa. Termasuk pengabenan tingkat nistaning utama. Dilakukan pada umat Hindu yang gugur di medan perang. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya seperti pengabenan Swastha Geni.

4. Pengabenan Ngelanus. Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Hanya teknisnya yang dibuat cepat. Ada dua jenis pengabenan ngelanus yaitu:

a. Ngelanus Tandang Mantri. Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Disebut juga dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya untuk para Wiku, tidak diperkenankan untuk walaka.

b. Ngelanus Tumandang Mantri. Dilakukan untuk walaka dalam kurun waktu satu sampai dua hari untuk para walaka . Upakara dan upacaranya tergantung kwantitas upakara dan upacaranya.(sumber bulelengkab.go.id)

Pada kegiatan acara Ngaben ini wisatawan sangat antusias menyaksikan upacara tersebut, pelebonan ini merupakan sebuah tradisi dan bentuk kearifan budaya lokal yg harus dijaga dan dilestarikan di Indonesia.

× Image